Apa itu ‘jatuh cinta’? Pertanyaan yang cukup tricky, ya? Saat remaja, mungkin kebanyakan dari kita hanya mengartikannya sebatas kulit luar. (Hayo, ngaku aja. Percaya deh, saya juga pernah di posisi sama.)
Naksir seleb keren? Deg-degan melihat cowok/cewek keren di rumah tetangga atau kelas sebelah? Dengan enteng kita langsung mengartikannya sebagai jatuh cinta. Lalu, mulailah kita berangan-angan, andai saja bisa jadian sama mereka.
Kalau tidak kesampaian? Meski terdengar lebay, rasanya langit runtuh seketika. Sedihnya luar biasa. Sampai-sampai orang lain yang mereka pilih jadi pasangan mereka kita cerca. Selalu ada kurangnya.
[alert-success] [/alert-success]
Biasanya, perasaan ini akan hilang begitu bosan melanda atau saat menemukan yang lebih keren dari mereka.
Kalau kesampaian? Wuih, mungkin awalnya senang luar biasa. Impian kita jadi nyata.
Tentang Realita Cinta
Namun, kemudian realita juga membuat kita kecewa. Ternyata, mereka yang semula kita anggap sempurna sampai kita puja-puja, ada juga celanya. (Yah, namanya juga manusia.) Bahkan, bisa jadi musik favorit hingga cara makan mereka bisa sukses bikin kita ilfil. Belum lagi hal-hal yang lebih prinsipil, seperti ideologi hingga pandangan politik. Hmm, jadi tambah berat, deh.
Kalau sudah begini, mau lanjut apa udahan? Mungkin ada yang langsung ‘membutakan’ diri atas nama “CINTA”. Padahal, teman-teman dan keluarga terdekat sudah pada ribut soal si dia yang sebenarnya ‘enggak banget’ buat kita. Ada juga yang berusaha tetap ‘bertoleransi’ dan ‘berkompromi’. Misalnya: berusaha menerima si dia yang hobi jam karet atau pelupa banget.
Mau sampai kapan? Ya, setahan-tahannya kita. Yang nggak tahan (apalagi perfeksionis yang hobi meributkan nila setitik) paling minta udahan.
Antara Jatuh Cinta dengan (Tetap) Cinta
Kalau dipikir-pikir, sebenarnya jatuh cinta itu gampang. Kadang juga bukan soal pilihan, alias bisa kejadian saja.
Jatuh cinta memang indah, makanya jadi tema terlaris sepanjang masa. Makanya, semua novel, lagu, hingga film dengan tema cinta dijamin laris manis – terutama yang happy ending. Namun, sayangnya kita suka lupa dengan ‘sisi lain’ – nya, yaitu tetap berusaha memelihara cinta agar tidak jatuh dan berhamburan. Serius.
Memelihara cinta itu (harusnya) jangan hanya jadi pekerjaan satu orang. Apa gunanya bila hanya salah satu pihak yang selalu diminta ‘mengalah’ (bahkan kerap diancam dengan dalil-dalil agama yang diinterpretasi suka-suka), sementara pihak lain terus saja seenaknya? Ibarat mengharapkan pasangan sempurna bak penghuni surga, namun rumah tetap dibuat seperti neraka.
Tetap Mencinta itu Tidak Mudah
Usaha untuk tetap saling mencinta memang tidak mudah.
Berlian mahal saja awalnya harus digali dulu, lalu digosok berkali-kali sebelum akhirnya menjadi berkilau nan indah. Begitu pula dua orang dalam satu hubungan. Bila sama-sama masih percaya dalam satu visi dan mau menerima kekurangan masing-masing, semoga keduanya tetap dapat tumbuh dan berkembang dalam hubungan tersebut. Semua yang bagus-bagus memang nggak pernah instan.
Kita semua pernah jatuh cinta. Apakah kita akan selalu cukup dewasa dan sabar mempertahankan (dan semoga juga mengembangkan) cinta yang sama – atau malah melepasnya saat cinta itu sudah tidak baik lagi bagi jiwa dan raga?
Jangan tanya saya. Selamat mengalaminya. Teruslah berinteraksi dengan cinta. Semoga cinta yang baik akan selalu ada dan untuk selamanya…
RR.
No Responses