“Terkadang, kamu harus berterima kasih pada musuh-musuhmu – terima kasih untuk semua luka yang mereka torehkan dalam hidup kamu.”
Satu atau dua dekade lalu, saya nggak akan sudi menerima saran itu. Enak saja. Udah orang itu nyakitin, nusuk dari belakang, ngegosipin, menghina di depan umum, hingga perbuatan brengsek lainnya, terus saya masih harus berterima kasih sama mereka?
Bahkan, yang langsung dan paling sering kepikiran adalah keinginan untuk membalas perbuatan mereka. Minimal musuhan hingga menyumpahi hal buruk menimpa mereka. Maksimal? Bisa banyak. Intinya bisa menyerang balik secara langsung atau diam-diam menusuk dari belakang (juga).
Sakit hati itu manusiawi. Namun, sebagai manusia, pasti kita juga punya dong, banyak pilihan. Apakah dengan membalas dendam lantas kita akan puas?
Apakah kita rela ‘turun kelas’ agar sama seperti mereka – atau malah lebih parah? Lagipula, memangnya kita sendiri nggak pernah nyakitin orang lain juga – sadar nggak sadar?
Yakin?
Kenapa Saya Harus Terima Kasih untuk Semua Luka itu?
Saya kurang sepakat dengan saran di atas, meski kurang-lebih bisa memahami maksudnya. Saya tetap enggan berterima kasih pada semua yang pernah menyakiti saya, karena sama saja dengan tidak menyadarkan mereka akan kesalahan mereka.
Saya lebih memilih untuk berterima kasih pada pengalaman dan semua luka (termasuk luka karena cinta). Semua telah membentuk saya menjadi seperti sekarang.
Karena sudah tahu sakitnya, saya berusaha agar jangan sampai mengambil jalan yang sama buruknya dengan mereka yang dulu pernah menyakiti saya.
Semua orang yang pernah menyakitimu, setidaknya telah mengajarkan dua hal:
- Mereka mengingatkanmu bahwa menyakiti sesama itu tidak pernah baik, apa pun alasannya.
- Mereka adalah contoh manusia yang sebaiknya jangan pernah kamu tiru.
Ya, harusnya sesederhana itu. Hidup ini harusnya memang semudah itu. Janganlah kita membuatnya semakin ribet dan rumit dengan pemikiran kita sendiri.
Terkadang, kamu hanya perlu merubah sudut pandang kamu dan belajar.