Jangan Playing Victim Melulu – Mungkin 5 Alasan Ini Sebab Mereka Malas Bicara Denganmu!
Kamu didiamkan teman-teman akhir-akhir ini? Sebelum playing victim, cek dulu perilakumu.
Ini 5 Ciri Orang yang Sudah Percaya Diri
Orang yang benar-benar percaya diri itu seperti apa, sih?
5 Jenis Orang Cerdas Ini Gak Cocok Jadi Tempat Curhat (dan Dimintain Tolong!)
Orang cerdas = tempat curhat andalan? Yakin?
Merajut Indonesia Saat Ini
Bagaimana anak muda Gen-Z (generasi Z) memaknai budaya Indonesia saat ini? Mewakili Pikiran Random, saya mendapat kesempatan emas untuk ikut menyimak acara IG Live Bincang Mimdan #5 bersama Merajut Indonesia (@merajut_indonesia) dan Lil’ Li Latisha (@lilli_queenb). Mewakili Gen-Z saat ini, Lil’Li membagikan pengalamannya mencoba menjajaki berbagai bidang yang menarik minatnya. Bagaimana menyikapi Budaya Indonesia yang sudah mengalami percampuran – atau yang bisa juga disebut dengan Budaya Remixed? Lil’Li mengawali karir aktingnya sebagai salah satu teman-teman Sherina Munaf dalam film “Petualangan Sherina” garapan Miles Production. Aktris muda yang pernah bermain dalam film “Kulari ke Pantai” bersama Marsha Timothy membagi pengalaman serunya dalam acara IG Live Bincang Mimdan #5 yang diadakan pada 30 Maret 2022, pukul 19:30 – 20:30. Pemenang Global Winner Rise for The World 2021 ini kemudian lebih banyak menggeluti akting di panggung teater, termasuk bermain dalam musikal “Hairspray”. Saat pandemi Covid-19 terjadi di tahun 2020, barulah Lil’Li mulai menggeluti dunia content creating. “Aku tumbuh dari keluarga keturunan Indonesian-Chinese dan udah terekspos oleh berbagai budaya lain, makanya akulturasi budaya udah bagian dari kehidupanku sehari-hari,” aku Lil’Li yang ternyata masih di SMA. Menurutnya, sudah lazim bila anak-anak Gen-Z terekspos oleh berbagai budaya di dunia, tidak hanya di Indonesia. Makanya, jangan heran bila banyak yang berbicara dengan bahasa campur-campur alias gado-gado. Contoh: istilah ‘bahasa anak Jaksel’, yaitu campuran antara Bahasa Indonesia dengan Bahasa Inggris. Pernah Dikira Sombong Gara-gara Sering Ngomong Bahasa Inggris Daripada Bahasa Indonesia Sebagai anak muda yang sangat mencintai seni, ekspresif, dan senang bereksplorasi, Lil’Li. Mulai dari menyanyi, menari, berakting, menulis, hingga menjadi pembuat konten digital. Selain film “Kulari ke Pantai” yang rilis pada 2018, Lil’Li juga pernah muncul dalam “Keanu Sumawinata Talks” pada 2020 kemarin. Namun, siapa sangka Lil’Li pernah dikira sombong, hanya gara-gara sering ngomong Bahasa Inggris daripada Bahasa Indonesia. Bahkan, tuduhan bahwa dirinya tidak suka Bahasa Indonesia dan merasa terlalu keren untuk menggunakan Bahasa tersebut sempat membuatnya bingung dan down. Memangnya kenapa? Kebetulan saja, Lil’Li tumbuh dengan banyak mendengarkan lagu-lagu Barat. Sama sekali tidak ada niat untuk pamer maupun terlihat lebih tinggi atau keren daripada Bahasa Indonesia. Untunglah, akhirnya Lil’Li berusaha tetap positive thinking dan terus melakukan semua hal yang disukainya. Tentu saja selama hal-hal tersebut berdampak positif, baik bagi dirinya sendiri maupun orang-orang sekitarnya. Misalnya: menari membuat badannya lebih lentur dan sehat, sementara bergelut di bidang seni membuatnya bebas berekspresi dan terus merasa percaya diri. Apalagi, isu kesehatan mental, terutama bagi para remaja, merupakan hal yang sangat penting untuk diperhatikan. Bayangkan, apa rasanya bila kamu terus-terusan merasa tertekan karena dilarang berekspresi sebagai diri sendiri? “Mau nggak mau, aku tuh, hidup dengan dikelilingi oleh beragam budaya dari lahir,” ujarnya saat diwawancarai dalam acara bersama PANDI. “Ya, aku sebagai orang Indonesia, ya aku dari keluarga keturunan China, sampai aku sebagai anak Gen-Z yang udah terbiasa dengan globalisasi dan era digital. Justru dengan semakin banyaknya jenis budaya, kita anak Gen-Z jadi lebih menghargai perbedaan budaya dan nggak merasa salah satu budaya lebih tinggi daripada yang lain.” Terus Berkarya, Sekaligus Mempersiapkan Masa Depan Akademis Sebagai seorang content creator, tentu saja Lil’Li merasa masih harus banyak belajar. Sudah risiko bila ada orang yang suka maupun tidak suka dengan karyanya. Pokoknya, bagi Lil’Li, yang penting terus mencoba dan belajar, terutama dari kesalahan. Jadikan kesalahan sebagai ajang belajar untuk berkarya lebih baik lagi nantinya. Untunglah, Lil’Li mendapatkan dukungan penuh dari keluarganya sendiri, meskipun keluarganya bukanlah keluarga berlatar belakang artis. Selain itu, Lil’Li tetap memperhatikan kegiatan akademisnya. Sebagai anak yang beruntung mendapatkan banyak akses, baik pendidikan maupun karir seni di usia muda, Lil’Li juga berharap agar semakin banyak anak muda lainnya yang juga punya equal access agar dapat mencapai mimpi-mimpi mereka. Sebagai perwakilan Gen-Z Indonesia yang terekspos beragam budaya, mengusung Budaya Remixed bukanlah sesuatu yang salah. Bukan berarti budaya Indonesia terlupakan begitu saja.
5 Tipe Pendebat yang Nggak Bersikap Adil
5 Tipe Pendebat Ini Sebaiknya Tak Perlu Kamu Ladeni – yang ada bakal bikin kesel diri sendiri doang. Gak percaya? Cek aja sendiri deh.
5 Kebiasaan Buruk Ini Bikin Orang Males Nolongin Kamu
Kok, mereka menghindar saat kamu minta tolong? Jangan-jangan karena 5 alasan ini.
4 Cara Sharing Sudut Pandang Pribadi yang Malah Bikin Keki
Cuma sharing sudut pandang, malah bikin keki?
Hindari 3 Komentar Ini Saat Orang Lagi Kena Musibah
Ketika musibah hadir, seringkali kita memberi komentar. 3 komentar ini harus dihindari saat orang terkena musibah ya kawan.
Frekuensi Pertemanan vs. Teman Sefrekuensi: Pilih Mana?
“Jangan kayak gitu, ah. Ntar gak punya temen, loh.” Pernah atau sering dengar ancaman macam ini waktu kecil? Entah dari ortu, guru di sekolah, sampai dari anak-anak sebaya lainnya. Ancaman ini pasti pernah bikin kita ketakutan. Habis itu, lantas kita buru-buru berubah sikap agar ketakutan tersebut tidak terbukti. Alasannya bisa macam-macam. Bagi orang tua dan guru waktu itu, mungkin kita termasuk nakal, tidak ramah, atau punya sifat kurang menyenangkan lainnya bagi mereka. Memang benar sih, bila ternyata ada anak-anak yang enggan bermain bersama kita. Gimana ya, kalo kelakuan kita sendiri membuat mereka merasa nggak nyaman? Lalu, gimana kalo kritik tersebut datangnya juga dari anak-anak sebaya? Bisa jadi alasannya sama, sikap kita kurang menyenangkan buat mereka. Eh, tapi ternyata nggak selalu gitu, loh. Bisa jadi malah sebaliknya. Ada juga anak-anak yang mengkritik kita justru karena mereka ingin kita seperti mereka, meskipun belum tentu kita merasa nyaman. Misalnya: harus memakai sepatu merk tertentu agar diterima bermain di kelompok mereka. Ada juga yang menganggap kita membosankan karena terlalu menurut sama guru di sekolah. Padahal, belum tentu orang tua kita sanggup membelikan sepatu merk tersebut karena mahal. Kalau pun sanggup, belum tentu mereka mau bila tahu alasan kita hanya untuk diterima bermain bersama anak-anak seperti itu. Semua Orang Masih Bisa Punya Teman “Dia suka jahat sama aku, tapi kok temannya lebih banyak, yah?” Sering merasa seperti ini? Mungkin banyak yang mengira kejadian semacam ini hanya ada di film-film Hollywood ber-setting SMA macam “Mean Girls”. Premis standar tentang si anak yang dianggap ‘biasa-biasa aja’ versus geng populer di sekolah yang ternyata jahat dan tukang bully. Anehnya, mereka begitu memukau banyak orang sehingga tampaknya begitu disukai. Akan tetapi, bukan nggak mungkin kejadian serupa ada di dunia nyata. Kalo udah begini, mungkin kita bakal bertanya-tanya: Apa iya, bersikap baik itu masih ada gunanya? Buktinya, yang jahat-jahat ternyata masih bisa punya teman…banyak lagi. Sementara, yang baik-baik dan berusaha menghindari drama malah lebih sering di-bully atau dikucilkan. Cek Dulu: Teman-teman Macam Apa yang Mereka Punya? Sebelum merasa putus asa duluan, cek dulu. Seperti apa teman-teman si jahat? Apakah mereka sebenarnya baik tapi sabar dengan ulahnya? Apakah mereka buta dengan kelakuannya? Atau…jangan-jangan mereka juga sama jahatnya? Beginilah kalau yang terlihat hanya kuantitas, bukan kualitas. Kita nggak pernah benar-benar tahu seperti apa pertemanan mereka. Frekuensi Pertemanan dan Teman Sefrekuensi Dulu, mungkin teman-teman baik adalah mereka yang (harus) hampir selalu ada buat kita. Ekspektasi ini juga kerap dipengaruhi oleh film-film Hollywood bertema persahabatan. Tahu ‘kan, saat si tokoh utama sedang sedih dan menelepon sahabat-sahabatnya, nggak lama mereka langsung berdatangan untuk menghibur. Ajaibnya, kalau dalam film, sesibuk dan sejauh apa pun mereka, teman-teman selalu punya waktu untuk berkumpul dengan si tokoh utama ini. Kayak lagu “One Call Away” – nya Charlie Puth. Mantap, dah! Pada kenyataannya, nggak semua hal harus tentang kamu. Dunia nggak hanya berputar di sekitar kamu. Teman-temanmu juga punya keperluan sendiri, masalah sendiri, dan hal-hal lain yang belum tentu (harus) melibatkan kamu. Jadi, kok kayaknya seperti anak kecil bila masih menyindir ketidakhadiran mereka, menganggap mereka sudah abai dalam menjaga kontak dengan kamu. Ya, apalagi lewat status atau meme semacam ini di media sosial: “Teman sejati pasti akan mencoba meluangkan waktu, sesibuk apa pun mereka.” Yaah…jangan bikin teman-temanmu merasa bersalah karena sibuk, dong. Siapa tahu saat ini mereka memang sedang tidak bisa mendampingi kamu, bukan sengaja nggak mau ketemu. Ada beda antara frekuensi pertemanan dengan teman sefrekuensi. Bila yang satu ngomong soal kuantitas, maka satu lagi perkara kualitas. Nggak jauh, nggak dekat, mau lagi sibuk atau lowong, teman sefrekuensi nggak akan mudah ke mana-mana. Meskipun sama-sama sibuk dan sempat lama nggak kontak, ya nggak jadi masalah. Karena begitu kontak-kontakan lagi, rasanya bisa kayak hanya baru pisah kemaren. Pernah kayak gitu, nggak? Tinggal melanjutkan obrolan kemarin yang lama terputus. (Itu pun kalo masih inget, hehehe…) Kadang sahabat paling baik pun nggak bisa selalu ada untuk kita, meskipun ingin. Selain sedang sama-sama sibuk, mungkin juga sedang sama-sama lelah. Mungkin juga sedang sama-sama kena masalah, sehingga bantuan mereka sedang tidak bisa diharapkan. Doa saja sebenarnya sudah cukup membantu lho, meskipun hasilnya belum tentu bisa langsung didapat. So… Nah, daripada berharap semua teman akan selalu memahami kita, mending mulai tanyakan ini pada diri sendiri: Mau jadi teman macam apa kita? Yang berkualitas karena benar-benar satu frekuensi – atau harus sering ngumpul, namun tanpa kedekatan yang berarti? RR.
5 Kerugian Bikin Konten Video Prank Online yang Melecehkan Korban Buat Pelaku
Kamu suka dengan konten video prank? Atau kamu termasuk yang bikin? Berikut 5 kerugian bikin video prank online yang harus dihadapi