Gak Perlu Fitur Memori, Netizen Medsos Pun Giat Mencari

Fitur Memori Medsos

Saya pernah membahas mengenai fungsi dari fitur media sosial. Selain sebagai pengingat memori yang baik-baik, memori buruk pun bisa menyadarkan kita untuk lebih bijak sebelum memposting apa pun. Kayak di film horor “Unfriended” aja, sih. Apa pun yang kamu posting di internet akan selamanya di sana. Bahkan meski kamu lupa atau sudah kamu hapus. Kasus 1: Pas baru-baru kenal internet, terutama media sosial, saya sempat ikut kebawa norak. Hampir semuanya diposting online, mau itu blog berisi curhatan pribadi, foto-foto saya yang posenya ‘ajaib’, sampai rant marah-marah dan makian terhadap mereka yang bikin saya kesal. Bahkan, satu cerpen yang pernah saya posting pernah sempat bikin saya dan seorang sahabat musuhan sampai dua bulan. Gak tanggung-tanggung, email dan medsos saya dia blokir. Lalu, bagaimana akhirnya kami bisa berbaikan kembali? Sebenarnya saya masih termasuk yang cukup beruntung dalam soal ini. Setelah menulis blog berupa permintaan maaf secara terbuka, dia membacanya dan kemudian memaafkan saya. Singkat cerita, kami masih berteman hingga kini dan saya tidak mau kehilangan dia lagi. Postingan penyebab kami berdua sempat bertengkar hebat itu sebenarnya sudah lama saya hapus. Cuma, bila kebetulan ada yang menemukannya dan bertanya sama saya. Yah…memang benar, itulah bukti kebodohan saya dulu. Daripada sok baik selalu tapi ketahuan aslinya dan malu, mending ngaku dosa dulu. Hahaha… Kasus 2: Nah, begitu tahu HRD perusahaan mulai banyak yang kepo dengan isi medsos calon pegawai mereka, saya mulai lebih berhati-hati. Mulailah saya membatasi posting berisi curhatan. Kalo gak di-set ke private atau semi-private (alias hanya bisa dibaca beberapa orang tertentu dalam daftar pertemanan saya), mending gak usah bikin sekalian. Bahkan, sekarang saya jauh lebih sering share tautan ke artikel-artikel yang sudah pernah saya baca atau yang jadi favorit. Biar kesannya pinter karena masih suka banyak baca gitu…#plakk (*tabok diri sendiri*) Buktinya dari kasus-kasus semacam ini juga tidak main-main. Di luar negeri, pernah ada perempuan yang langsung dipecat pada hari pertama gara-gara postingannya di media sosial. Si perempuan kehilangan pekerjaannya di sebuah tempat penitipan anak gara-gara dia mengaku di medsos bahwa sebenarnya dia gak suka dengan anak-anak. Entah postingannya lupa untuk di-set private atau ada teman ‘lingkaran dalam’ yang berkhianat, pokoknya bos di tempat kerja itu tahu dan langsung menyuruhnya tidak usah datang saja sekalian. Wuiihh…serem, yah? Ternyata, postingan di-set private pun gak ngaruh, karena bisa aja ada temen kamu yang meng-capture-nya. Cukup berbekal screenshot, semua aibmu pun tetap bebas merdeka di dunia maya. Tinggal tunggu netizen lain mem-bully saja. Fitur Memori Sosmed vs. Netizen yang “Kerajinan” Nah, kalo sudah begini gimana?? Ternyata, kita gak perlu fitur memori sosmed untuk mengingatkan postingan lama kita. Bahkan, fitur ini sudah terbukti kalah cepat dengan netizen yang “kerajinan”. Mereka bisa meng-capture postingan dan message kita yang terkini, entah itu minggu lalu, kemarin, bahkan beberapa jam sebelumnya. Buat apa, sih? Tentu saja buat barang bukti. Sayangnya, kebanyakan cara ini dilakukan dengan tujuan kurang menyenangkan, yaitu mempermalukan sesama. Bahkan, meskipun sudah dihapus, gak ada yang bisa memprediksi siapa yang sudah duluan meng-capture postingan ‘berbahaya’ tersebut. Waspada dan Jangan Lupa Berkaca Emang sih, nyaris gak ada batasan mau posting apa pun yang kita suka di media sosial. Mau itu kamu lagi kesel sama pacar, dendam kesumat pada mantan (aihh!), marah-marah sama orang kantor, hingga kritik untuk mereka yang kamu anggap gaya hidupnya ‘enggak banget’. Toh, namanya juga kebebasan berpendapat – meskipun UU ITE tetap jadi bayang-bayang yang mengancam. (Hiii…) Tapiii…siap-siap aja nih, kalo ada yang sakit hati atau tersinggung sama postingan kamu. Kan, sama saja dengan kamu yang gak bisa ngontrol respon orang sama postingan kamu. Bisa saja kamu maksudnya bercanda, orang lain nangkepnya beda. Namanya juga udah risiko bermedia sosial. Kalo gak mau direspon gak enak, bisa kamu set khusus untuk beberapa orang saja yang menurutmu bakalan paling mengerti kamu atau gak usah aktifin kolom komentar sama sekali. (Eh, tapi apa asiknya sih, kalo maennya satu arah gitu??) Selain itu, jangan lupa berkaca. Takutnya, kamu posting berupa teguran sama orang untuk gak posting soal A dan B di medsos mereka, tapi lupa kalo sebelumnya kamu sudah pernah melakukan hal serupa. Tahu sendiri ‘kan, netizen banyak yang rajinnya ngalahin fitur memori media sosial. Takutnya, mereka sengaja cari-cari (atau malah udah ngumpulin?) postingan lama kamu sebelum di-capture, terus screenshot-nya diposting khusus buat nunjukin kalo kamu selama ini udah maen standar ganda. Mau, gak? Hiii… Untuk amannya sih, kalo emang udah gak tahan sama postingan orang yang menurut kamu enggak banget, ‘kan ada fitur unfollow atau block. Hehehe… RR.

Dear Kamu yang Suka Bilang: ‘Masalah Gue Lebih Berat Dari Elo!’

mencari kerja di jakarta

Singkat cerita, tulisan ini terinspirasi gara-gara cuitan seseorang yang menyinggung soal ini. Intinya, sang pengirim twit nanya soal pengalaman warga Twitter yang pas ngeluh capek, eh disahutinnya kayak gini: “Gue lebih capek.” Nah, lho? Gimana, tuh?? Belum lagi kalo ada yang balesannya kayak gini: “Capekan mana lo sama gue?” Awal-awal, mungkin banyak yang akan diam dan langsung memaklumi kamu. Apalagi kalo kebetulan masalahmu terbukti bener-bener berat dan kurang sebanding dengan yang mereka keluhkan. Saya kasih contoh ekstrim aja, ya: Misalnya, mereka ngeluh kerja bikin capek dan gaji masih segitu-gitu aja. Sementara kamu, boro-boro gaji, kerjaan aja belum dapet (atau baru patah hati karena gagal tes CPNS). Niatmu mungkin juga baik. (Mungkin loh, ya. Saya mana tahu?) Kamu nggak mau mereka terus-terusan mengeluhkan masalah yang menurutmu sebenernya nggak jelek-jelek amat (sekali lagi, dibandingin sama masalahmu.) Intinya, menurutmu hidup mereka masih jauh lebih beruntung daripada nasibmu yang begitu-begitu aja. Di Sisi Lain… Sayangnya, di sisi lain, kok ucapan macam itu jadi kayak kompetisi, yah? Intinya, kamu kayak nggak mau kalah capek sama orang lain dan mereka nggak berhak untuk bersikap manusiawi dengan mengeluh. Padahal kalian sama-sama manusia. Lagipula, emang kalo menang kompetisi capek-capekan bakalan dapet hadiah apa, sih? Selain itu, belum tentu semua yang buka-bukaan soal kemalangan mereka berarti mengeluh atau mau curhat doang, loh. Contohnya: saya pernah kecopetan ponsel sama dompet. Awal-awal, pastinya saya stres dan panik luar biasa. Tapi untungnya begitu masalah pelan-pelan saya selesaikan, semua kembali (relatif) normal. Nah, pas ada yang kepo sama kronologi kejadiannya, waktu itu saya sudah cukup stabil (alias nggak ke-trigger lagi secara emosional) untuk bercerita. Eh, baru separuh jalan cerita, tiba-tiba ada orang lain yang dengan entengnya menyahut gini: “Eh, elo masih lebih mendingan kali. Gue dulu pernah kehilangan laptop.” Hah?? Waduh, saya nggak tahu kalo cerita soal pengalaman buruk saja bisa bikin orang lain merasa tersaingi. (Atau jangan-jangan saya yang emang nggak mau mudeng soal ini.) Kalo emang ada piala atau medali khusus untuk pemenang dengan kategori masalah terburuk, dengan senang hati akan saya serahkan ke dia. Saya mah…ouwgah… Terus, Gak Boleh Ngeluh, Gitu? Wah, saya bukan orang yang tepat buat jawab pertanyaan itu. (Apalagi, jujur aja, kadang saya juga masih termasuk barisan para pengeluh, bukan barisan para mantan-nya Endank Soekamti.) Kalo bilang ya ntar dibilang sok tegar dan gak punya empati. Kalo bilang sebaliknya malah dituduh melemahkan iman kamu-kamu semua yang ngakunya punya masalah yang mungkin jauh melebihi berat badan saya. Heu… Intinya, mau gak mau semua balik lagi ke diri masing-masing. Coba tanyakan diri sendiri: perlukah mengeluh? Apa mengeluh lantas bisa langsung menyelesaikan masalah – atau kamu cuma ingin merasa lega aja biar gak ada beban di jiwa? Atau kamu sebenarnya sekalian ingin minta bantuan orang lain? Atau kamu memang sedang sangat butuh perhatian semesta? Ciee… Mengeluh – Tahu Tempat, Waktu, dan Empati Selain itu, bolehlah lebih selektif dalam melayangkan keluhan. Bisa jadi, kamu atau si lawan bicara pas lagi sama-sama capek. Jadi nggak ada yang bisa cukup sabar mendengarkan curhatan apa pun. Namanya juga manusia. Selain sama-sama bisa capek, kalian juga bisa sama-sama lagi punya masalah. Bedanya, tentu saja dari jenis masalah dan perspektif. Mungkin yang menurut si A remeh, menurut B nggak receh. Mungkin kamu termasuk yang lebih tough meskipun didera masalah bertubi-tubi, tapi si teman baru kena sekali-dua kali aja udah sangat sedih. Percuma juga kalo dibanding-bandingin, apalagi kalo sampai harus jadi kompetisi. Lagian, kalian bakalan dapet apa, siiih? Kalo pun masih sulit berempati, minimal cobalah menahan mulut sendiri. Yah, mungkin dengerinnya rada pegel, apalagi menurutmu masalah capek mereka ya, itu-itu lagi. Mungkin kamu merasa nggak dapet jatah curhat yang sama dari mereka, ya…cari saja yang lain. Gak bisa curhat sama teman, masih ada keluarga sendiri. Gak bisa sama keluarga sendiri atau siapa pun? Hari gini, nggak malu-maluin kok, kalo butuh bantuan terapis juga. Daripada dipendam sendiri dan malah makin sakit… Jangan pendam masalah – bisa depresi loh. Coba tes depresi kamu deh. Jangan lupa juga mendekatkan diri pada Sang Ilahi, tentu saja dengan berdoa sesuai kepercayaan masing-masing. Kalo sedang gak dalam kondisi fit buat dengerin curhatan orang, cukup bilang mohon maaf terus undur diri. Percaya deh, kalo mereka juga tahu diri dan bisa berempati, minimal mereka memahami kalo kamu juga lagi punya masalah dan butuh sendiri… Kalo mau berkompetisi, mendingan yang bikin sama-sama sehat. Ini kok, malah cari yang lebih capek atau sakit, sih? Enaknya di mana, coba? RR.

#PikiranRandom – Saatnya Bersuara atau Diam Saja? Mana yang Lebih Baik?

saatnya bersuara

Kapan? Kapankah saatnya bersuara atau diam? Kapan waktu yang tepat untuk keduanya dan mana yang lebih baik? Pertanyaan yang tricky, ya? Jawabannya juga mungkin tidak sama bagi setiap orang. Yang Ingin (Selalu) Bersuara Ada yang merasa bahwa sah-sah saja bila mereka bersuara, kapan pun yang mereka inginkan. Toh, itu juga termasuk hak asasi manusia. Mereka punya mulut, jadi bebas dong, untuk mengutarakan isi hati? Namun, bagaimana dengan waktu dan tempat? Bagaimana dengan perasaan orang lain? Apakah semuanya juga jadi pertimbangan mereka sebelum berbicara? Bagaimana juga cara menyampaikan suara kita itu? Semua itu bukan hal yang mudah loh. Bisa jadi kita bersuara, menyampaikan pikiran kita, opini kita, namun ternyata semua itu salah caranya. Kemudian berakhir dengan ricuh tak jelas. Apalagi di social media. Lah wong, yang bersuara melalui aksi nyata saja sering menjadi bahan pembicaraan kok. Gimana kalau yang bersuaranya itu dengan cara yang salah? Yang Memilih Diam Saja Lalu, bagaimana dengan mereka yang memilih diam saja? Itu juga hak asasi mereka, sih. Mungkin mereka hanya ingin menghemat tenaga. Mungkin mereka merasa itu bukan urusan mereka. Ada hal lain yang jauh lebih penting untuk dikerjakan. Namun, apa iya diam itu selalu emas? Apakah kita akan tetap diam saat ada yang jelas-jelas salah dan merugikan? Apakah kita tetap akan berpura-pura semuanya baik-baik saja? Mungkin diam tidak selalu berarti tidak peduli. Kadang ancaman tertentu bisa begitu menakutkan di depan mata. Diam itu (kayaknya) jauh lebih aman. Tidak perlu kita sampai ikut terluka, apalagi bila karena terlalu banyak bicara. Benarkah Aman bila Diam? Atau Lebih Baik Saatnya Bersuara? Aman? Kata siapa? Mau sampai kapan? Sampai jengkal demi jengkal kian terkikis, terbatasi – hingga kita nyaris tidak bisa bebas bergerak lagi? Hanya gara-gara ada yang merasa berhak berkuasa sesuka hati? Ada saatnya bersuara maupun saatnya untuk diam (dan mendengarkan). Keduanya sama-sama punya konsekuensi. Terlalu banyak bicara – apalagi dengan kata-kata jahat dan percuma – hanya menghasilkan suara berisik dan mengganggu sesama. Rusaklah rasa damai yang sudah ada. Jangan Lupa Follow ya, Randomers… Diam mungkin kesannya juga ideal. Aman, bebas gangguan. Menurut saja bila diminta apa-apa. Sampai kemudian, kita terlena. Tahu-tahu, gerak kita semakin dibatasi, bahkan tanpa alasan jelas maupun yang masuk akal. Kita semakin sering dikerjai dan hak-hak dasar kita semakin banyak yang akhirnya terpangkas. Kadang, kita sendiri juga yang membuatnya demikian. Dengan kata lain, kita berubah menjadi sosok gampangan hanya demi menuruti kemauan orang lain. Demi menghindari ribut-ribut, kita pun memilih pasrah. Bersuara Salah, Diam Salah… Jadi Gimana? Lucunya, kita juga masih suka mengeluh – baik dalam hati maupun terang-terangan. Ibaratnya, kita tidak pernah sungguh-sungguh mengamini pepatah: “Yang waras yang mengalah.” Bagaimana kita mau sungguh-sungguh? Habis itu, kita masih saja mengeluhkan jumlah orang brengsek di dunia yang semakin bertambah. Yakin, kalau diam itu selalu emas? RR.

8 Ciri yang Menunjukkan Kamu Belum Siap Pegang Bisnis Sendiri

saatnya bersuara

Peluang membuka dan menjalankan bisnis sendiri udah banyak. Info seputar cara mendaftarkan bisnis secara resmi juga tinggal dicari di internet. Terus tinggal kumpulin orang yang mau gabung, siapin nama perusahaan, terus maju jalan. Eh, apa iya bikin startup emang semudah itu, yah? Tapi, kalo belum apa-apa udah banyak stresnya dan merasa serba salah, jangan-jangan kamu sebenernya belum siap untuk berbisnis, apalagi yang serius dan besar. 8 Ciri Kamu Belum Siap Punya Bisnis Sendiri Selain belum bisa ninggalin mentalitas karyawan (apalagi stres begitu nggak ada penghasilan), ini dia delapan (8) ciri lainnya yang patut kamu waspadai: 1. Belum belajar bisnis secara resmi atau nggak bisa cepat meski mutusin untuk otodidak. Buka usaha besar harus sekolah bisnis dulu? Ah, kelamaan. Mahal pula. Mungkin itu yang ada di pikiran kamu. Belajar bisnis secara otodidak pun jadi pilihan. Mau itu dari buku, artikel online, atau banyak-banyak observasi dan tanya-tanya mereka yang udah lebih pengalaman. Sayangnya, terlalu banyak hal yang harus dipelajari dalam waktu singkat (dan sambil ngejalanin bisnis pula) bikin kamu jadi nggak fokus dan kelabakan. Akhirnya, usaha jadi nggak maksimal dan buntutnya kamu lebih banyak ngeluh. Ini kalo ngeluhnya diem-diem. Kamu malah nggak segan-segan cerita ke bawahan. Waduh, bahaya! 2. Cenderung menggampangkan dan acuh dengan peraturan dan hukum yang berlaku terkait izin usaha dan tenaga kerja. “Yang penting jalanin dulu.” Begitu prinsip yang kamu anut. Sayangnya, nggak semua hal bisa kamu kerjain nanti, kalo nggak mau berbuntut masalah panjang. Contohnya: registrasi badan usaha secara resmi, kontrak kerja, hingga peraturan yang jelas. Meskipun belum punya tim legal, kontrak kerja tetap nggak boleh disepelekan. Mengapa demikian? Tanpa kontrak kerja maupun peraturan yang jelas, semua yang terlibat bisa berpeluang untuk berbuat seenaknya. Nggak cuma kamu sebagai atasan, bawahan pun bisa suka-suka atau malah bingung, karena nggak ada pedoman perusahaan yang jelas. 3. Lebih banyak mengeluh dan menyalahkan pihak tertentu saat satu strategi pemasaran gagal total daripada cari solusi. Okelah, mungkin si A atau B kerjanya memang nggak becus. Mungkin juga strategi yang mereka jalankan salah sasaran. Akibatnya, pemasukan berkurang atau malah nggak ada sama sekali. Panik dan deg-degan itu pasti. Gimana mau menggaji karyawan nanti? Sayangnya, lebih banyak mengeluh dan terus-terusan menyalahkan pihak  tertentu nggak akan menjadi solusi. Mau nggak mau, kamu harus putar otak dan cari siasat lain. Mengeluh terus-terusan justru bisa bikin karyawan kehilangan semangat dan menunjukkan lemahnya kepemimpinanmu di perusahaan. 4. Nggak tahu kalo gaji karyawan itu termasuk dari bagian operasional. Nah, ini fatal sekali. Meskipun pemasukan sedang berkurang, jangan salahkan karyawan yang protes saat digaji tidak sesuai kesepakatan di awal (alias lebih rendah.) Apa pun penyebabnya, itu tetap urusan kamu. Bila ingin mereka tetap profesional, jangan sampai kamu bilang ke mereka kalo di saat-saat susah, gaji karyawan terpaksa menunggu karena harus fokus ke biaya operasional dulu. Kalau begini perlakuanmu terhadap bawahan, apalagi yang berstatus fulltime, siap-siap aja terjadi resign massal. Itu bukan apa-apa. Bila bisnis belum terdaftar dengan sah dan kontrak kerja belum jelas, alamat bisa kena masalah sama Depnaker (Departemen Tenaga Kerja). 5. Nggak tahu bedanya izin sakit sama cuti. Oke, mungkin perusahaanmu masih masuk kategori startup dan baru berjalan beberapa bulan. Stafnya masih bisa dihitung dengan jari. Bisa sebanyak lazimnya anggota boyband atau tim sepak bola, sementara kerjaan banyak luar biasa. Akibatnya, suka ada yang kelelahan hingga jatuh sakit. Kadang juga nggak bisa dihindari, sakitnya lumayan lama. Sayangnya, saat si sakit sudah sehat kembali, dia mengajukan cuti untuk tiga bulan lagi. Meskipun agak-agak nggak rela melepas mereka, kamu bakalan kelihatan konyol kalo sampai ngomong gini: “Kamu kemaren udah kebanyakan cuti.” Padahal, yang kemaren itu karena sakit. Nggak mau juga kali, dateng ke kantor dengan kondisi beler dan berisiko nularin penyakit ke semua orang, kalo memang virus penyebabnya. 6. Nggak bikin akun rekening bank dan NPWP terpisah atas nama perusahaan. Bolehlah nama perusahaan, lokasi kerja, hingga website resmi terlihat profesional. Ehh, giliran transfer slip gaji, kok masih pake akun pribadi? Kira-kira apa yang ada di benak karyawan saat melihat transfer slip gaji masih pake akun sendiri, terus jadwalnya suka nggak konsisten lagi? “Nggak profesional. Jangan-jangan pemasukan perusahaan sama kebutuhan pribadi campur-campur lagi.” Persis. 7. Nggak mau mendengarkan saran orang lain, apalagi bawahan. “Ini bisnis gue. Suka-suka gue dong, gimana menjalankannya.” Waduh, nggak bisa gitu juga, dong. Pemimpin perusahaan menjadi panutan bawahan. Kelakuan bawahan adalah cerminan bagi pimpinan. Lagipula, namanya juga kerja satu tim. Justru bersyukurlah bila karyawan memberikan saran. Berarti mereka ikut peduli dengan kemajuan perusahaan. Bila perusahaan maju, penghasilan bertambah, dan semua senang – terutama yang bisa naik gajian, hahaha… Memang, keputusan akhir tetap di tanganmu. Namun, bila belum apa-apa sudah menampik usulan mereka, jangan heran bila lama-lama mereka semakin enggan terbuka. 8. Enggan menurunkan standar atau gaya hidup. Bila sebelumnya masih doyan banget ke bioskop tiap bulan hingga ngopi-ngopi cantik di kafe mahal, sekarang mending kurangin dulu, deh. Apalagi bila bisnis pake dana sendiri, bukannya dari investor. Pilihan Sih… Emang bener kalo ada yang nyamain punya usaha seperti membesarkan anak. Nggak ada yang murah dan hasilnya emang nggak bisa langsung kelihatan. Nggak usah semua. Bila setengahnya saja memang ciri-ciri yang ada pada kamu, jangan-jangan emang bener. Entah kamu-nya yang emang belum siap berbisnis – atau malah nggak punya mentalitas berbisnis sama sekali. Pilihan ada pada kamu. Mau mengakui dan belajar dari kesalahan sesegera mungkin – atau memilih tersinggung pas baca artikel ini? RR.

Jangan Takut Gagal – Semua Butuh Proses

harapan tahun baru

Tiba-tiba, saya teringat kisah seorang anak murid saya. Kisah ini terkait tentang hidup dan sikap jangan takut gagal dalam hidup. Simak kisahnya dan pikiran random saya tentang ini yuk: Sewaktu masih menjadi seorang guru Bahasa Inggris, saya pernah membaca artikel ini di buku cetak murid-murid saya: Ada kisah seorang anak jenius. Di usianya yang ke-15, dia sudah loncat kelas di SMA. Dia bisa berbicara dalam lima bahasa asing selain Inggris. Anak ini bahkan sudah diterima di 3 kampus paling bergengsi di negerinya, meskipun usianya relatif masih muda. Lalu, ibunya bercerita bahwa anak itu juga les piano. Namun, ternyata memainkan alat musik tersebut adalah kelemahannya. Saat ditanya alasan Sang Ibu yang tetap mengharuskan si anak belajar piano, alasan beliau cukup masuk akal: “Agar dia tetap sadar bahwa dia masih manusia biasa.” Mungkin kita akan bertanya-tanya, untuk apa, sih? ‘Kan anaknya sudah jenius. Ngapain belajar yang lain lagi dan menyusahkan diri sendiri? Apalagi, yang dipelajari ternyata bukan sesuatu yang mudah dia kuasai. Bukankah nanti si anak malah akan merasa tidak percaya diri karena gagal menguasai sesuatu? Kenapa Takut Gagal? Siapa sih, yang mau gagal? Pastinya nggak ada. Tapi gimana kalau ternyata kejadian juga, meskipun sudah berusaha keras? Dari kecil, kita selalu diajarkan – bahkan sampai didoktrin – untuk harus selalu sukses. Jangan dapat nilai merah, terutama saat ujian. Jangan sampai tinggal kelas, nanti memalukan. Harus lulus sekolah dan kuliah, jangan sampai D.O. Harus dapat kerja, jangan sampai jadi pengangguran – apalagi kelamaan. (Terutama bagi kaum Adam yang masih dituntut untuk wajib menafkahi keluarganya.) Yang terakhir: jangan sampai dipecat. (Lihat, sampai saya kasih bold, underline, dan italics sekaligus.) Gagal memang momok bagi banyak orang. Nggak berhasil mencapai standar tertentu (apalagi yang masih berlaku di masyarakat) dianggap sesuatu yang rendah dan hina. Padahal, siapa sih, kita? Boro-boro sempurna, mendekati saja tidak. PikiranRandom – Jangan Takut Gagal karena tidak ada yang sempura! Saya bisa lanjut kalau mau. Setelah dapat kerja bagus, harus segera menikah – kalau bisa di usia 20-an. (Untuk perempuan, sering ditekankan bahwa sedini mungkin lebih baik.) Harus bisa punya anak sebagai bukti ‘keberhasilan pernikahan’. (Entah apa maksudnya.) Kalau nggak, dianggap gagal dan bermasalah. (“Pasti ada yang salah!”) Begitu pula kalau sampai bercerai (dan bukan karena ditinggal mati, ya.) Mungkin karena inilah banyak yang memilih ‘bermain aman’. Tidak berani mencoba hal-hal baru dengan alasan takut salah dan gagal. Takut dimarahi, dihina, hingga diremehkan. Mereka cenderung mudah mundur dari tantangan. Padahal, 7UP sekalipun mengalami hal ini. Gagal dan maju lagi. Pertanyaannya: apakah mau terus maju atau tidak? Bila berhasil akan sesuatu, mereka juga cenderung jumawa. Terlalu bangga dan lantas menghina yang mereka anggap gagal. Cari perbandingan biar puas. Intinya, mereka malah jadi nggak berkembang, tapi keburu merasa ‘besar’. Coba Dulu – Jangan Takut Gagal Gimana kalau pilihan kamu ternyata salah? Gimana kalau ternyata gagal setelah mencoba sesuatu? Apakah artinya kamu bodoh dan tidak bisa apa-apa? Bukankah kegagalan sesungguhnya adalah ketidakberanian seseorang untuk mencoba? Tentu saja, selama yang dicoba masih sesuatu yang benar dan positif, bukan tindakan kriminal dan yang membahayakan diri sendiri maupun orang lain. Jangan takut gagal. Gagal itu bagian dari hidup. Yang penting adalah yang harus kamu lakukan sesudahnya: Bangkit kembali. RR.

Pentingnya Kesan Pertama Dalam Berbisnis

saatnya bersuara

Apa sih, yang bikin kita merasa nyaman berbisnis dengan orang? Ada yang memang karena suka dengan produknya. Ada yang mungkin karena berawal dari iseng-iseng, siapa tahu jadi suka beneran. Karena kesan pertama dalam berbisnis, ternyata lanjut terus sampai jangka panjang. Ada yang memang suka dengan orang-orang yang berkecimpung dalam bisnis tersebut. Apalagi, bila kita kenal dengan mereka. Bila belum kenal-kenal amat, mungkin ada kepribadian mereka yang bikin kita tertarik untuk terus berinteraksi. Apa pun alasannya, terserah saja. Toh, kita juga yang memilih dan menjalaninya sendiri. Namun, ada kalanya hal yang (kesannya) remeh justru dapat mengubah keputusan seseorang untuk bergabung dalam bisnis apa pun itu. Cerita tentang Kesan Pertama dalam Berbisnis – Pengalaman Pribadi Singkat cerita, saya pernah diajak bergabung dalam bisnis produk kesehatan. (Nggak perlu sebut nama brand kali ya, biar etis.) Saya sudah pernah menghadiri dua seminar mereka, tapi akhirnya berubah pikiran. Setelah seminar yang kedua, kami berkumpul di restoran. Mayoritas dari mereka ternyata…perokok berat. Ini sungguh bertolak belakang dengan produk kesehatan yang mereka promosikan. Yang lebih ironis lagi? Jelas-jelas ada larangan merokok di dalam resto tertempel di dinding dan mereka tidak peduli. Tipikal orang Indonesia? Ah, saya tidak ingin main stereotipe (meskipun sayangnya, model macam ini di lapangan sangat banyak.) Sekadar info, saya tumbuh dengan keluarga yang mayoritas perokok. Pokoknya, nyaris tidak ada laki-laki di keluarga saya yang tidak merokok (kecuali para keponakan yang jelas-jelas masih di bawah umur, ya.) Bahkan, saya sendiri juga pernah merokok sebelum akhirnya harus berhenti gara-gara laringitis*. Entah kenapa, saya sering banget menangkap keangkuhan para perokok saat mereka (berasa) mayoritas. Larangan merokok jadi nggak ada artinya bila mereka merasa berkuasa. Bahkan, mereka tidak peduli orang lain merasa tidak nyaman – termasuk saya yang sebenarnya waktu itu sudah merasa sesak. “Excuse me!” tegur seorang perempuan asing. “Can you not smoke in here? There’s a ‘NO SMOKING’ sign on the wall.” Seperti yang sudah saya duga, gerombolan perokok di depan saya langsung kompak ngeyel-nya. “Tapi biasanya boleh, kok!” seru satu-satunya perempuan perokok di dalam grup. Rekan-rekan lelakinya langsung menimpali dengan ujaran setuju dan anggukan. “Lagipula juga udah di atas jam 11 malam. Udah sepi juga, nggak bakalan banyak yang keganggu.” Mereka masih sempat ribut dengan perempuan asing itu untuk beberapa saat. Saya sampai pusing. Akhirnya, perempuan asing itulah yang mengalah dan pergi dengan muka bete. Entah kenapa, staf yang sedang bertugas di resto tidak bertindak. Mungkin takut kehilangan pelanggan juga. (Kalau begitu, ngapain larangan merokok dipasang segala??) “Orang biasanya juga nggak apa-apa, kok,” perempuan perokok tadi masih bersungut-sungut. “Lagian juga udah sepi.” Oke, sebenarnya saat itu saya sudah nggak tahan lagi, tapi memilih diam saja sambil memutar bola mata. Lha, terus dari tadi saya yang duduk bareng mereka tapi nggak ikutan merokok dianggap apa? “Kalo nggak suka, mending dia balik ke negaranya aja!” Nah, ini lagi komentar ‘khas’ orang Indonesia yang nggak suka dikritik, apalagi sama orang luar. Padahal, jelas-jelas mereka yang salah. Argumen di atas juga sama sekali nggak sesuai konteks kejadian barusan. Menurut saya ini ‘patriotisme salah tempat’. Melanggar aturan kok, bangga? Okelah, mungkin saya terdengar terlalu keras dan judgmental. ‘Kan hanya segelintir orang dalam bisnis itu yang bersikap demikian. Belum tentu salah bisnisnya juga, apalagi produknya. Saya setuju bahwa merokok itu pilihan pribadi, sama seperti menjadi vegan. Selama hanya untuk diri sendiri dan tidak berimbas ke orang lain, terserah. Tapi, tetap saja ada rasa tidak nyaman dengan pelaku bisnis yang tidak konsisten semacam itu. Ya, produknya kesehatan…tapi mereka merokok. Mungkin bisnisnya memang legit, tapi kok mereka hobi menyepelekan aturan? Resto memang ruang publik, tapi bila saya pemiliknya – saya akan menganggap mereka tamu yang tidak mau bersikap sopan. Lagipula, takutnya nanti juga akan ada alasan-alasan konyol mereka yang lain untuk membela sesuatu yang sebenarnya salah. Percaya atau tidak, kesan pertama tetap penting. Gimana menurut kalian? RR. *Laringitis: peradangan yang terjadi pada laring (kotak pita suara di dalam tenggorokan). Gejala umumnya: nyeri tenggorokan, batuk, demam, suara serak, atau bahkan kehilangan suara. Merokok (baik secara aktif maupun pasif) merupakan salah satu penyebabnya.