5 Tipe Penumpang Solo Dewasa di Pesawat – Kamu Termasuk yang Mana?
Jalan-jalan seorang diri apalagi jarak jauh ke Sydney membuat pikiran ngerandom banget. Makanya muncul 5 Tipe Penumpang Solo Dewasa di Pesawat ini – hasil pengamatan sendiri.
Gelegar Guntur dan Kenangan dari Papa yang Tiba-Tiba Muncul… Ini Pembelajaran dari Beliau
Gelegar guntur siang hari ini mengingatkan saya pada kenangan dari papa (almarhum) yang mengajarkan untuk mengabaikan suara menakutkan dari guntur itu. Sama seperti suara-suara tak menyenangkan dalam hidup yang kita sering temui. Kenangan dari papa ini akan selalu saya ingat: Random Ruby.
Tentang Tulisan Yang Dianggap Cuma Curhatan Semata
Kamu suka menulis? Pernah dapat komen gak kalau tulisan kamu itu dianggap cuma curhatan semata. Gak guna – gak manfaatlah atau yang sejenisnya. Tulisan yang isinya dianggap curhatan itu gak jelek kok. Bahkan kamu harus bangga.
5 Alasan LDR Bukan Untuk Semua Orang
LDR atau Long Distance Relationship itu ada kan. Saya pernah alami dan jalaninya. Semakin lama, saya semakin paham kalau LDR memang nggak buat semua orang. 5 alasan kalau kamu bukan tipe ldr ada di sini
Terima Kasih untuk Semua Luka
Terima kasih untuk semua luka yang telah kamu berikan dalam hidup ini. Terima kasih! Beuh… ngapain coba harus berterima kasih untuk mereka yang telah menyakiti saya? Pikiran Random tentang luka dan hidup dari Ruby.
Saat Pola Makan Jadi Ajang Penilaian Dirimu, Iya, KAMU!
Sering terjadi loh, pola makan itu jadi dasar penilaian orang terhadap diri kita sendiri. Apa memang seperti itu adanya? Pola makan menentukan siapa diri kita? Bahkan di saat kencan pertama? #PikiranRandom dari Ruby nih.
Pikiran Random Tentang Jatuh (dan Tetap) Mencinta
Kamu jatuh cinta? Atau justru ingin tahu tentang jatuh cinta? Well, jatuh cinta itu baru awal aja. Pertanyaan sebenarnya bukan bagaimana caranya jatuh cinta, tapi bagaimana menjaga tetap cinta di antara dua orang.
Menjadi Beda: Sekadar Keinginan, Pembuktian, atau Memang Demikian?
Dari dulu sering banget denger orang ngomong “Dare To Be Different – Menjadi Beda”. Apalagi waktu remaja, masa seseorang sedang gencar-gencarnya mencari jati diri. Masa transisi yang menantang dan masih butuh arahan biar nggak mudah ‘salah jalan’. Haruskah Menjadi Beda Hanya Karena…. Berani menjadi beda…. Ada tiga (3) pengertian dan sikap yang berbeda mengenai alasan seseorang untuk berani menjadi berbeda: 1. Sekadar Keinginan. Mungkin selama ini kamu berada di lingkungan yang bisa dibilang ‘homogenis’. Rasanya semua orang melakukan hal yang sama. Bangun pagi, berdoa, mungkin berolahraga sedikit (terutama saat akhir pekan), hingga mandi dan beraktifitas harian. Ada yang sekolah, kuliah, hingga kerja. Bahkan, mungkin ada juga yang bermalas-malasan. Lalu, apa yang membuat tiap orang berbeda? Banyak hal. Tidak hanya penampilan dan kepribadian, namun juga pilihan hidup mereka. [alert-note] [/alert-note] Mungkin kamu termasuk yang lama-lama merasa bosan disamakan dengan banyak orang dan harus melakukan hal yang sama terus setiap hari. Rasanya seperti memakai seragam sekolah. Beda sedikit langsung jadi pusat perhatian. Melenceng sedikit dianggap melawan. Namun, niatmu untuk benar-benar stand out sudah benar-benar bulat. Kamu ingin dianggap istimewa, jadi kamu lakukan apa saja untuk benar-benar kelihatan – dan menjadi beda. Lalu apa tujuanmu? Hanya ingin kelihatan dan dianggap berbeda, biar merasa istimewa? Salahkah mereka yang memilih mengikuti aturan yang ada? 2. Pembuktian Ke??? Keinginan untuk ‘tampil dan menjadi berbeda’ merupakan hal lumrah setiap manusia. Banyak pakar psikologi menyebutnya sebagai “pencarian jati diri”. Nggak cuma remaja, mereka yang sudah dewasa pun masih ada yang berada dalam tahap ini. Toh, setiap orang punya perannya masing-masing. Bagi mereka yang mencari aman mungkin merasa lebih nyaman menjadi pengekor. Nggak perlu mikir, cukup ikuti yang di depan mereka. Salah atau benar urusan belakangan. Yang berat? Bila yang depan kemudian jauh meninggalkan mereka. Namun, ada juga yang ingin berbeda tanpa sekadar ‘dianggap beda’. Biar kekinian, anggap saja ini “self-branding”. Apa ciri khasmu yang belum tentu dimiliki orang lain? Kamu ingin dikenal sebagai siapa dan apa? Apa peranmu di dunia ini? Bagaimana cara membentuknya, sebisa mungkin tanpa terkesan mengekori yang sudah ada? (Susah, mengingat istilah “there’s no longer anything new under the sun”.) Nggak perlu jadi pengikut Darwin untuk memahami evolusi. Evolusi yang mungkin hanyalah evolusi sosial. Manusia tumbuh dewasa, kematangan pribadi pasti bertambah. Dalam tahap ini, barangkali kamu sudah mulai menemukan jati dirimu. Keinginanmu, diikuti dengan berbagai usaha dan tujuan hidup yang lebih jelas daripada sekadar “ingin beda aja”. 3. Memang Demikian Adanya. Di tahap inilah, kamu sudah merasa nggak perlu lagi membuktikan ke siapa-siapa bahwa kamu ‘berani berbeda’. Untuk apa? Memang demikian adanya. Setiap manusia pasti berbeda dan inilah bagian dari realita. Nggak perlu lagi bilang-bilang ke semua orang atau berkoar-koar sebagai pembuktian. Kerja kerasmu-lah yang berbicara. Konsistensimu dalam apa yang kamu percayai telah menjadi buktinya. Dalam tahap ini, yang penting bukan lagi “dare to be different” atau ‘berani menjadi beda’. Yang penting adalah “berani menjadi diri sendiri”, meskipun orang lain akan mengecapmu sebagai sosok yang ‘berbeda’ – entah dengan kekaguman atau bernada cibiran. Biarlah kamu yang menjadi penentu hidupmu sendiri di sini, meski tentu saja – Tuhan tetap andil dalam segala hal di dunia ini. “Dare to be different”? Beneran siap dengan perbedaan, atau hanya sekadar tampil beda? RR.
Ulang Tahun? Hanya Hari Di Mana Kita Belajar Tentang Usia dan Pasrah
Di ultah ke-35 kemarin, banyak yang mengucapkan selamat. Meskipun udah nggak perlu lagi pake acara tiup lilin di atas kue dan nyanyi “Panjang Umurnya”, saya tetap bersyukur. Apalagi pas adik laki-laki – dengan separuh bercanda – bilang begini: “Jatah hidup lo berkurang setahun.” *krik…krik…krik…* Jangan bilang dia kurang ajar dulu, karena dia memang benar. Apalagi, semakin bertambah digit usia kita, waktu kita sudah tidak lagi sebanyak dulu. Berbeda dengan waktu kecil, saat ultah selalu menjadi waktu yang paling ditunggu-tunggu. Waktu Kecil? Sewaktu kecil, banyak yang memberi semangat positif saat ultah. Semoga panjang umurnya. Semoga tumbuh menjadi anak yang berbakti pada orang tua, cerdas di sekolah, dan berguna bagi bangsa…dan seterusnya. Pokoknya, yang baik-baiklah. Nggak mungkin ‘kan, ngomong ke anak kecil kalau setiap ultah, berarti waktu mereka hidup di bumi berkurang setahun? Yang ada malah bikin mereka nangis lagi. [alert-note] [/alert-note] Saat ultah bagi seorang anak memang selalu penuh harapan dan pengingat. Kamu udah tambah gede, harus lebih pintar, blablabla… Selain itu, ada juga tambahan keceriaan berupa kue, kado-kado, permainan, hingga saat bersama keluarga dan teman-teman. Pokoknya, yang bagus-bagus. Waktu Remaja? Tergantung dengan teman-teman macam apa kita bergaul. Yang aji mumpung biasanya pada nodong traktiran. Ada juga yang cukup kejam, melempari yang ultah dengan telor dan tepung, serta entah apa lagi. (Ini sebelum para orang dewasa menegur bahwa perbuatan itu memboroskan makanan dan nggak peka sama yang nggak berkecukupan.) Teman-teman yang benar-benar baik justru yang memberi kado, entah masing-masing atau patungan. Lalu kita akan bersenang-senang dengan mereka. Ada yang ke kafe, jalan seharian di mal, nonton film, dan masih banyak lagi. Ada juga yang memilih makan-makan sederhana di warung. Yang penting, kebersamaan dan saling berbagi. Waktu Dewasa? Mungkin masih ada yang menganggap perayaan ultah itu penting. Ada juga yang lebih banyak merefleksi diri. Apa sih, yang sudah dicapai selama ini? Benarkah kehadiran kita sudah membawa manfaat yang cukup banyak bagi diri sendiri maupun orang lain? Nggak usah jauh-jauhlah. Sudahkah kita membahagiakan orang tua kita? Sulit, meskipun menurut kita mereka orang tua paling sempurna di dunia. Membalas semua jasa mereka tidak akan cukup, bahkan hingga di akhir hayat. Selain itu, banyak yang mulai enggan diingatkan soal ultah mereka sendiri. Perempuan lajang di atas usia 30 mungkin malas, karena orang pasti akan mengaitkannya dengan pertanyaan: “Udah nemu calon pendamping hidup, belum? Hayo, jangan lama-lama!” Seakan-akan ada yang kurang dengan diri mereka, sehingga merasa tidak berharga. Padahal, nggak perlu begitu juga, bukan? Ada yang mungkin mulai panik, karena bucket list mereka belum dicentang semua. Belum traveling ke negara-negara incaran. Belum bisa beli mobil dan rumah. Belum punya usaha sendiri. Belum, belum, belum… Bukan selalu karena selama ini mereka membuang-buang waktu. Banyak faktor lain bermain di sini. Biaya, kesempatan, hingga masalah prioritas. Daripada membanding-bandingkan diri dengan orang lain, bertambahnya digit usia harusnya bisa disikapi dengan lebih bijak, seperti: Belajar pasrah… Ya, belajar menerima kenyataan. Semangat boleh muda, namun tubuh tidak lagi segesit biasanya. Belajar pasrah saat alarm di tubuh menjeritkan “Sakit!” atau “Capek!” agar berhenti memaksakan diri. Belajar berhenti bermain sebagai superhero. Sayang ama orang lain boleh, tapi jangan lupa memperhatikan diri sendiri. [alert-note] [/alert-note] Belajar pasrah bahwa kita nggak akan pernah bisa membuat seluruh dunia menyukai kita. So what? Biar saja bila ada yang mencela kita sebagai pribadi yang kelewat serius dan nggak bisa diajak bercanda ‘gaya mereka’. Jika mereka mengaku dewasa dan berpikiran terbuka, harusnya nggak marah terus ngambekan dong, kalau kita kebetulan lagi nggak sepakat? Mama adalah salah satu perempuan cerdas dan bijak dalam hidup saya. Menurut beliau, kadang diam adalah pertahanan terbaik. Kita tidak perlu selalu berkoar-koar bahwa kita benar. Lakukan saja apa yang kita bisa, semampunya. Biarkan mulut-mulut nyinyir menghina. Cukup menunggu saja. Menunggu apa? Menunggu mereka melakukan hal yang sama, ‘cacat’ yang dulu mereka pernah tudingkan dengan lantang ke muka kita. Contoh: mereka yang pernah usil mengomentari berat badan saya ternyata marah begitu ada yang usil dengan pilihan gaya hidup mereka. Selain itu, mereka yang pernah mengejek saya sebagai sosok lamban dalam mencerna gurauan, ternyata jauh lebih sensitif daripada yang selama ini mereka bangga-banggakan… Diam itu nggak selalu lemah. Diam itu adalah bijak dalam menghemat tenaga, pikiran, dan perasaan – termasuk nggak meladeni perdebatan kelas ‘kanak-kanak’. Dengan demikian, digit usia kita bukan cuma angka… RR.
Fitur Memori di Media Sosial – Apa Kenangan Lama Kamu? Positif atau Negatif?
Meskipun sudah lama tersadar dengan adanya fitur memori di media sosial, baru kali ini saya menyadari fungsi lain dari fitur tersebut. Tahu ‘kan, fungsi utama fitur memori di media sosial? Kadang saat kita membuka laman akun kita, ada notifikasi mengenai posting lama yang pernah kita publikasikan pada hari yang sama – beberapa tahun silam. Setahun yang lalu, tiga tahun yang lalu…sebut saja. Posting Positif versus Negatif di Media Sosial Kayak apa sih, postingan kita rata-rata di media sosial? Yang bagus-bagus, seperti foto-foto bersama orang-orang tercinta? Tulisan inspiratif di note dan status buat lucu-lucuan? Meme kocak dan tautan ke artikel-artikel seru? Atau malah yang negatif? Kayak meme sarkastik dan foto-foto kejadian tragis masa lalu? Status curhatan tentang orang-orang yang menyebalkan dalam hidup kita – dan tentang pemerintah, mungkin? Hoax? Gimana sih, rasanya saat melihat postingan lama keluar lagi? Seperti melihat kembali perjalanan hidup lama kan? Gimana juga rasanya pas melihat postingan lama orang lain di laman mereka, berkat fitur memori yang sama? Enaknya sih, kita cuma mengingat yang baik-baik dan melupakan yang buruk. Apalagi saat kita sedang dalam kondisi nggak enak dan butuh penyemangat. Cukup melihat postingan lama yang bagus-bagus dan perasaan kita akan bahagia kembali. Postingan tersebut bisa jadi pengingat dan sugesti ampuh: Kalo waktu itu bisa bahagia, kita masih bisa kok, bahagia lagi. Gimana dengan postingan yang negatif? Selalu ada pilihan. Sama kayak orang yang sadar akan kesehatan dan memilih makanan dengan hati-hati. Kita bisa memilih untuk curhat ke semua orang atau memutuskan untuk menyimpannya sendiri. Perlukah Semua Tahu? Tapi, apa iya seluruh dunia wajib tahu semuanya? Apa pun yang kita lakukan, orang-orang yang kita sayang, musuh-musuh kita? Memangnya sedikit misteri sudah nggak relevan lagi, ya? Misalnya: kita bertengkar dengan seorang teman. Sesudahnya, si teman langsung menulis status yang pastinya menyindir kita, meski dengan #nomention segala. Karena malas, akhirnya kita memutuskan untuk diam-diaman dengan teman. Nggak lama, kalian baikan. Semua kembali normal, namun entah kenapa si teman nggak menghapus status sial itu. Garar-gara si fitur memori, kalian suatu saat melihatnya lagi… …dan, gimana rasanya? Mungkin ada yang cukup berbesar hati dan menertawakannya sebagai ‘kekonyolan’ masa lalu. Namun, apa iya semua orang begitu? Apalagi bila kata-kata yang dipakai ‘sekelas’ sama ucapan preman jalanan. Mungkin masih ada rasa sayang yang bikin kita sedih. Sisanya? Lebih banyak rasa khawatir…dan mungkin juga takut sekaligus muak. Hanya orang-orang super sabar yang bisa tahan berteman dengan mereka yang terlalu banyak mengumbar status negatif di media sosial. Apakah kemungkinan besar mereka termasuk sosok pendendam? Apakah mereka akan membawa-bawa lagi masa lalu setiap kali berdebat? Wajar bila kita was-was. Meskipun sudah minta maaf dan (katanya) masalah sudah (dianggap) selesai, malas rasanya kalau sampai ada yang mengungkit-ungkit lagi. Mau relevan atau enggak, sama aja. Ingat yang Baik, Lupakan yang Buruk: Seorang sahabat lama memutuskan untuk enggak lagi menulis di blog mengenai kehidupan pribadinya untuk konsumsi publik. Alasannya? “Lama-lama males juga, kayak cari tontonan. Emang mereka perlu tahu apa gue lagi sedih atau berantem ama pacar? Emang ada gunanya gitu?” Seperti biasa, masalah pilihan. Sama seperti seorang anak laki-laki yang diceritakan Sean Covey dalam bukunya “The 7 Habits for Highly-Effective Teens”. Berbeda dengan kebanyakan pemilik jurnal atau buku harian, anak ini memilih untuk mendokumentasikan yang bagus-bagus saja di buku hariannya. Mau itu tawa mama atau pelukan kakak, atau bahkan lagu favorit hingga hal-hal seru yang suka dilakukannya. Sama seperti mereka yang memilih untuk sharing yang bagus-bagus aja di media sosial, anak ini juga memilih demikian saat menulis. Jadi, pas dia lagi sedih atau bete, tinggal baca lagi deh, buku hariannya untuk pengingat agar dia senantiasa bersyukur. Jadi, mau diingat seperti apa kita? Gimana rasanya melihat pengingat berupa postingan lama di media sosial lewat fitur memori? Apakah kita akan memilih untuk membagikannya lagi – atau malah menghapusnya sekalian? Apakah postingan tersebut bahkan cukup pantas untuk dibagikan ulang, sama halnya dengan kisah masa lalu kita? RR.