Tidak Selamanya Realita Sejalan Dengan Rencana: Terus Bagaimana???
Manusia yang ingin hidup lebih baik, jelas, dan terarah, pasti harus punya rencana. Meskipun belum tentu sama, setiap orang punya tujuan hidup yang membuat mereka berusaha keras untuk mencapainya. Contohnya: dari kecil kita sudah diajari keteraturan. Mulai dari bangun tidur, mandi, makan, ke sekolah, pulang, bikin PR dan belajar, hiburan, hingga tidur lagi. Nggak cuma mengikuti keteraturan ibarat mesin, orang tua juga menginginkan hasil yang dicapai dari keteraturan tersebut. Yang paling jelas sih, nilai bagus. Selain itu, masih ada juga ilmu yang didapatkan dan bisa bermanfaat bagi kehidupan kita nantinya. Ada juga pendidikan karakter, seperti: belajar berperilaku baik, bersikap sopan santun, dan saling menghormati sesama. Seperti harapan banyak orang baik lainnya, semua nilai yang bagus dan perilaku yang baik itu diharapkan dapat memperlancar hidup si anak nantinya. Pasti sering denger dong, ucapan-ucapan di sini: “Jangan males belajar, nanti nggak naik kelas.” “Kalo nilai-nilaimu bagus semua, nanti bisa dapat beasiswa. Lulusnya juga cepat dan gampang, terus tinggal cari kerja, deh.” “Kalo ingin orang baik sama kamu, kamu harus baik sama mereka dulu.” “Orang yang baik pasti cepat menemukan jodohnya.” Tapi, Gimana Kalo Realita Nggak Sejalan Rencana dan Usaha untuk Mencapai Tujuan? Gimana kalo kita punya keterbatasan saat berusaha memahami mata pelajaran atau ilmu tertentu? Gimana kalo IPK tinggi ternyata nggak menjamin kita langsung mendapatkan pekerjaan impian? [alert-note] [/alert-note] Gimana kalo meski sudah berusaha baik sama orang, kita malah tetap jadi pihak yang selalu disakiti? Gimana kalo kita sudah berusaha menyenangkan hati sosok yang diam-diam kita cintai, balasannya malah penolakan – dan bahkan disertai penghinaan? Dan puluhan bahkan ratusan gimana lainnya akan terus menerus muncul…. Hmm, di sinilah titik balik kita untuk berbuat sesuatu dari semua kejadian nggak enak di atas. Apakah belajar keras percuma? Apakah nilai-nilai bagus nggak ada gunanya? Apakah berbuat baik sama orang lain merupakan kebodohan? Apakah berusaha memenangkan hati seseorang yang kita cintai merupakan tindakan seorang pecundang? Penerimaan: Apatisme atau Kerelaan? Banyak yang masih salah mengartikan penerimaan sebagai sesuatu yang negatif. Menerima berarti pasrah dan lemah, rela disakiti begitu saja. Menerima berarti menjadi orang yang selalu kalah, pecundang terparah. Padahal, menerima itu bukan berarti mengalah – bukan berarti pasrah. Mungkin ada yang terjebak dengan apatisme, akibat banyak rencana yang ternyata gugur saat bertemu realita. Mereka jadi malas belajar dan berhenti berusaha. Ah, sudahlah. Hidup mereka sudah berakhir, bahkan sebelum mereka memulainya. Tujuan mereka sudah punah rasanya. Mereka juga jadi berhenti berbuat baik untuk orang lain. Rasanya, mereka mahluk paling menderita di dunia. (Ah, masa iya?) Jika orang-orang yang selama ini mereka anggap teman ternyata bersikap jahat, masih bisakah mereka percaya? Apa gunanya jadi cowok/cewek baik-baik kalau pujaan hati malah mencerca? Ada juga yang memutuskan untuk merelakan. Ya, mungkin saja selama ini mereka sudah salah strategi, terlalu bergantung pada satu hal. Mungkin saja selama ini mereka sudah mempercayai orang-orang yang salah. Namanya juga manusia biasa, nggak mungkin bisa baca pikiran semua orang. Mungkin juga selama ini mereka sudah dikuasai oleh cinta buta, sehingga tidak bisa melihat kekurangan si pujaan hati hingga akhirnya terlambat. Pada akhirnya, perasaan memang nggak bisa dipaksa. Mengeluh ke semua orang dengan ucapan “But I’m a nice guy/girl!” justru malah akan membuat orang ragu akan kebesaran hati mereka. Pada akhirnya, kita hanya punya dua pilihan: mau terus mengasihani diri atau bangkit kembali? Ganti strategi dan berusaha lagi? RR.
Random Tentang Mencintai tanpa Membandingkan
Kalimat di atas mungkin sering terdengar dalam film-film atau terbaca dalam novel-novel roman picisan. (Maaf, saya terdengar sinis di sini.) Biasanya kalimat ini diucapkan dengan ragam intensi: Berharap agar yang tercinta takkan meninggalkan kita. Berharap target napsu setuju untuk bercinta (baca: berhubungan seksual) sebelum menikah. (Ini menurut analisa seorang kawan.) Menyadari bahwa yang tercinta takkan kembali dari alam baka, dengan kekhawatiran bahwa mereka takkan mampu mencintai orang lain lagi. Hmm, kira-kira mana yang benar, ya? Menurut saya bagaimana? Entah kenapa, saya punya pikiran random begini: Kalimat di atas berarti sangat gamblang. Ya, kita tidak mungkin mencintai dua orang berbeda dengan cara yang sama, apa pun usaha kita. Pasti ada yang berbeda. Tidak hanya soal cinta pada kekasih, sejak awal kita memang tidak mungkin 100% memberi perhatian yang sama bagi setiap orang dalam hidup kita. Contohnya? Mencintai tanpa Membandingkan: Dalam Keluarga Mungkin yang sudah jadi orang tua ada yang akan membantah: “Kami nggak pilih kasih, kok. Semua anak kami sayang.” Mungkin memang benar, tapi… Sadar nggak sadar, caranya pasti ada yang beda. Sulit untuk mencegah kemungkinan salah satu anak akan ada yang merasa tersisih. Ada kemungkinan satu akan merasa diperlakukan tidak adil, dan iri pada saudara mereka yang (sepertinya) lebih mendapatkan kasih sayang berlimpah. Bagaimana kalau ternyata masalahnya bukan itu, melainkan anak-anak dengan tiap kebutuhan yang berbeda? Misalnya: bisa saja si kakak (dianggap) sudah lebih besar dan mandiri, sehingga orang tua lebih mencurahkan perhatian pada adik? Bagaimana bila salah satu anak mengidap penyakit serius, sehingga membutuhkan perhatian khusus? Mau tidak mau, yang lain harus mengalah. Sedih sih, tapi mau bagaimana lagi? [toggle title=”Ingin menulis di Pikiran Random?”]Pikiran Random membuka kesempatan untuk kamu menulis. Berbagi cerita tentang hidup, cinta, dan juga kerja. Lengkapnya: Klik saja gambar ini dan isi form kontaknya. [/toggle] Di luar itu, masih ada kemungkinan mereka memang beneran pilih kasih – sadar nggak sadar. Misalnya: mentang-mentang anak laki-laki satu-satunya dalam keluarga, anak ini selalu dianggap wajar saat berbuat nakal. Minta apa pun dikasih, keluyuran sampai pagi nggak pernah dicari-cari, hingga…bisa ongkang-ongkang kaki di rumah, sementara saudara-saudara perempuannya kena tugas rumah tangga. Nah, kalau yang terakhir ini memang menyebalkan. Para orang tua ini juga tidak sadar telah mendidik anak laki-laki mereka dengan salah. Yang ada, gedenya mereka makin manja dan berlaku seenaknya sama perempuan. Tapi, memang butuh kerja keras dan tanpa menyerah untuk mengubah ketidakadilan ini di masyarakat. Contoh Mencintai tanpa Membandingkan: Dalam Pertemanan Bisa jadi, kita punya banyak teman. Namun, pasti ada dong, beberapa yang benar-benar kita percaya? Anggaplah seleksi alam, mengingat pertemanan berjalan dengan dinamis. Daftar ‘teman-teman kepercayaan’ kita bisa awet, bertambah, atau berkurang. Manusia berubah seiring waktu. Bisa jadi tadinya cocok, berikutnya udah enggak. Bisa jadi yang tadinya cuek, sebenarnya teman yang benar-benar peduli. Ingin mereka tetap di daftar? Kedua belah pihak tetap harus saling bekerja sama. Belajar menerima kekurangan masing-masing dan saling memaafkan. Toh, hidup ini kelewat pendek untuk terus saling marahan dan mendendam. Apalagi bila sudah bukan usia remaja lagi. Sayang sekali… Namun, bila sudah tidak mungkin dipertahankan lagi, lepaskan mereka dengan rela. Siapa tahu, justru kalian bisa menjadi manusia-manusia yang lebih baik saat berjauhan… Contoh Dalam Hubungan Percintaan (Kekasih/Pasangan) Nah, ini lebih rumit lagi. Apalagi bila Anda termasuk yang pernah pacaran beberapa kali. Ada yang sulit move on sehingga selalu mencari sosok dengan tipe mirip-mirip dikit-lah. Hasilnya? Pasti beda. Meskipun mungkin si dia mirip sama mantan atau punya hobi yang sama, kepribadiannya pasti beda. Berharap dapat mengulang pengalaman yang sama hanya akan membuat Anda kecewa. Baca juga: Pikiran Random Tentang Hidup di Perantauan Ada pepatah yang mungkin terdengar gombal: “You can’t possibly love two different people the same way, but you can love the same person in many ways.” Jujur, saya percaya dengan yang satu ini. Menikah sebaiknya bukan perkara main-main, yang dengan gampang bilang cerai hanya karena bosan. Bisa jadi, si dia yang lima tahun lalu kaku banget dan nyebelin, sekarang sudah lebih rileks dan nggak mudah ngotot saat berdebat. Bisa jadi, Anda yang dulunya nggak pernah menanggapi si dia dengan serius kini lebih dewasa dan mulai belajar lebih menghargainya… …dan masih banyak lagi… Mungkin, merayakan hari jadian dengan bunga dan makan malam romantis dulu dianggap penting. Bisa jadi, sekarang yang lebih penting adalah memeluk si dia yang sedang bersedih…atau bantuan ringan si dia di rumah saat Anda kelelahan. Hal-hal kecil yang justru bermakna lebih besar dari sekadar ucapan sayang… Random Ruby Berkata: Haruskah kualitas setiap cinta berbeda? Haruskah selalu demikian? Selamat memutuskan…dan terus berusaha mempertahankan cinta yang ada… RR.