Apa sih, yang bikin kita merasa nyaman berbisnis dengan orang? Ada yang memang karena suka dengan produknya. Ada yang mungkin karena berawal dari iseng-iseng, siapa tahu jadi suka beneran.
Karena kesan pertama dalam berbisnis, ternyata lanjut terus sampai jangka panjang.
Ada yang memang suka dengan orang-orang yang berkecimpung dalam bisnis tersebut. Apalagi, bila kita kenal dengan mereka. Bila belum kenal-kenal amat, mungkin ada kepribadian mereka yang bikin kita tertarik untuk terus berinteraksi.
Apa pun alasannya, terserah saja. Toh, kita juga yang memilih dan menjalaninya sendiri.
Namun, ada kalanya hal yang (kesannya) remeh justru dapat mengubah keputusan seseorang untuk bergabung dalam bisnis apa pun itu.
Cerita tentang Kesan Pertama dalam Berbisnis – Pengalaman Pribadi
Singkat cerita, saya pernah diajak bergabung dalam bisnis produk kesehatan. (Nggak perlu sebut nama brand kali ya, biar etis.) Saya sudah pernah menghadiri dua seminar mereka, tapi akhirnya berubah pikiran.
Setelah seminar yang kedua, kami berkumpul di restoran. Mayoritas dari mereka ternyata…perokok berat. Ini sungguh bertolak belakang dengan produk kesehatan yang mereka promosikan.
Yang lebih ironis lagi? Jelas-jelas ada larangan merokok di dalam resto tertempel di dinding dan mereka tidak peduli. Tipikal orang Indonesia? Ah, saya tidak ingin main stereotipe (meskipun sayangnya, model macam ini di lapangan sangat banyak.)
Sekadar info, saya tumbuh dengan keluarga yang mayoritas perokok. Pokoknya, nyaris tidak ada laki-laki di keluarga saya yang tidak merokok (kecuali para keponakan yang jelas-jelas masih di bawah umur, ya.) Bahkan, saya sendiri juga pernah merokok sebelum akhirnya harus berhenti gara-gara laringitis*.
Entah kenapa, saya sering banget menangkap keangkuhan para perokok saat mereka (berasa) mayoritas. Larangan merokok jadi nggak ada artinya bila mereka merasa berkuasa.
Bahkan, mereka tidak peduli orang lain merasa tidak nyaman – termasuk saya yang sebenarnya waktu itu sudah merasa sesak.
“Excuse me!” tegur seorang perempuan asing. “Can you not smoke in here? There’s a ‘NO SMOKING’ sign on the wall.”
Seperti yang sudah saya duga, gerombolan perokok di depan saya langsung kompak ngeyel-nya.
“Tapi biasanya boleh, kok!” seru satu-satunya perempuan perokok di dalam grup. Rekan-rekan lelakinya langsung menimpali dengan ujaran setuju dan anggukan. “Lagipula juga udah di atas jam 11 malam. Udah sepi juga, nggak bakalan banyak yang keganggu.”
Mereka masih sempat ribut dengan perempuan asing itu untuk beberapa saat. Saya sampai pusing. Akhirnya, perempuan asing itulah yang mengalah dan pergi dengan muka bete. Entah kenapa, staf yang sedang bertugas di resto tidak bertindak. Mungkin takut kehilangan pelanggan juga. (Kalau begitu, ngapain larangan merokok dipasang segala??)
“Orang biasanya juga nggak apa-apa, kok,” perempuan perokok tadi masih bersungut-sungut. “Lagian juga udah sepi.”
Oke, sebenarnya saat itu saya sudah nggak tahan lagi, tapi memilih diam saja sambil memutar bola mata. Lha, terus dari tadi saya yang duduk bareng mereka tapi nggak ikutan merokok dianggap apa?
“Kalo nggak suka, mending dia balik ke negaranya aja!”
Nah, ini lagi komentar ‘khas’ orang Indonesia yang nggak suka dikritik, apalagi sama orang luar. Padahal, jelas-jelas mereka yang salah. Argumen di atas juga sama sekali nggak sesuai konteks kejadian barusan. Menurut saya ini ‘patriotisme salah tempat’. Melanggar aturan kok, bangga?
Okelah, mungkin saya terdengar terlalu keras dan judgmental. ‘Kan hanya segelintir orang dalam bisnis itu yang bersikap demikian. Belum tentu salah bisnisnya juga, apalagi produknya. Saya setuju bahwa merokok itu pilihan pribadi, sama seperti menjadi vegan. Selama hanya untuk diri sendiri dan tidak berimbas ke orang lain, terserah.
Tapi, tetap saja ada rasa tidak nyaman dengan pelaku bisnis yang tidak konsisten semacam itu. Ya, produknya kesehatan…tapi mereka merokok. Mungkin bisnisnya memang legit, tapi kok mereka hobi menyepelekan aturan? Resto memang ruang publik, tapi bila saya pemiliknya – saya akan menganggap mereka tamu yang tidak mau bersikap sopan.
Lagipula, takutnya nanti juga akan ada alasan-alasan konyol mereka yang lain untuk membela sesuatu yang sebenarnya salah.
Percaya atau tidak, kesan pertama tetap penting. Gimana menurut kalian?
RR.
*Laringitis:
peradangan yang terjadi pada laring (kotak pita suara di dalam tenggorokan). Gejala umumnya: nyeri tenggorokan, batuk, demam, suara serak, atau bahkan kehilangan suara. Merokok (baik secara aktif maupun pasif) merupakan salah satu penyebabnya.
2 Responses
Setuju banget, kesan pertama itu penting kalau memang dirasa tidak cocok, ya tidak bisa dipaksakan, kecuali kalau memang mereka adalah tipikal orang yang masih bisa diajak bicara baik-baik, kita bisa kasih tahu kalau ada sesuatu yg nggak kita suka dari mereka terus mereka juga mempertanyakan intinya bisa diajak diskusi lah, tapi kalau ternyata tipe orang yang arogan ya wasalam deh ..
Sedih ya kenapa dunia harus ada pro dan kontra, ada yang cocok dengan kita ada yg tidak,, memang betul jual produk kesehatan tapi kok mereka merokok, bagi saya konsisten dan kejujuran itu penting, ingat lho pergaulan yang buruk merusak kebiasaan yang baik, jadi kelihatan nya selektif pergaulan tidak masalah asalkan demi kebaikan 😊
Begitulah. 🙂 Bila dari awal sudah kelihatan tidak konsisten, jadinya malah meragukan – tidak representatif.