Saya yakin, kamu, kamu dan kamu, semuanya, ingin hidup yang enak. Siapa yang gak mau coba? Apalagi kalau lihat orang di sekitarmu bisa nongkrong tiap hari di cafe ternama. Atau jalan ke Jepang, Singapura dan lainnya – pokoknya jalan-jalan terus deh.
Enak banget kayaknya gaya hidup seperti mereka yang kamu lihat sendiri ataupun via sosial media mereka. Mau dong kayak gitu….
Saya juga pernah seperti itu. Pengen banget bisa hidup enak. Punya hape terbaru dan lainnya. Ini saya alami pas jaman baru lulus SMK. Saya menuruti gaya hidup bukannya kebutuhan. Padahal gaya hidup dan kebutuhan itu boleh dibilang bertentangan.
Iyalah bertentangan… lah wong kebutuhan saya masih di level fresh graduate yang gak punya penghasilan gede, tapi maunya gaya hidup kayak orang yang punya penghasilan minimal 5 juta sebulan. Ya gimana dong, saya kan bosan jadi orang miskin – alasan saya waktu itu. Padahal mah, saya itu ya masih termasuk kaum miskin urban.
Gitu-gitu doang… sampai akhirnya, demi gaya hidup pun saya mulai melakukan kesalahan besar yang saya sesali hingga sekarang ini.
#RandomGakJelas soal Gaya Hidup dan Kebutuhan
Kemarin saya membaca tulisan Dani soal kehidupan glamor bankir di Jakarta. Pas baca, saya terpikir:
Been there done that.
Yuppp… saya termasuk yang “glamor” secara tampilan padahal mah…. gak ada apa-apanya. Semua itu lebih karena saya ingin lepas dari “Gak Punya Apa-apa” dan menjadi “seseorang”.
Sayangnya, seseorang yang saya ikutin itu adalah mereka yang punya penghasilan besar. Akhirnya saya pun tenggelam dalam kesalahan pertama saya.
Punya Kartu Kredit Tambahan dan Cicil Sana Sini
Bukan kartu kredit utama – melainkan kartu kredit tambahan, diberikan sama kakak perempuan saya. Asik kan? Setidaknya itu yang saya pikir saat itu. Saya bisa deh nonton bioskop tiap minggu. Beli hape terbaru – saat itu Nokia masih jadi raja.
Padahal ya… saat itu saya yang masih memegang ijasah SMK doang – baru punya penghasilan sebulan itu gak lebih dari 500ribu. Tapi belanja saya?
Cicilan hape baru: 200ribu
Nonton dan makan enak: 100ribu
Total sebulan udah 300ribu. Sisa? Ongkos ke kantor bu. Coba aja bayangin. Itu kehidupan dan gaya hidup saya waktu itu.
Nyesel? Iya, cuma bentar doang tapinya. Gak lama setelah penyesalan itu ilang, saya pun mulai lagi belagu dengan kartu kredit.
Apalagi pas saya dapat beasiswa di salah satu bank swasta yang memang jadi incaran saya. Bulanan yang saya terima naik. Jadi sekitar 1,5juta. Lumayan kan? Walaupun ongkos naik, tapi saya pikir mah masih cukup untuk yang lain.
Jadilah saya beli hape yang lebih baru lagi… apalagi pas lihat teman pakai hape yang keren-keren. Gitu terus. Bayar kartu kreditnya pun juga minimum payment.
Demi Gaya Hidup Glamor
Itu yang saya lakukan… jujur. Saat itu mah gak pernah kepikir sama masa depan yang harus gimana gimana. Yang penting saat itu seneng-seneng. Bisa makan enak, punya hape bagus, pakaian keren de el el.
Setelah beberapa tahun kemudian?
Kartu kredit baru. Kali ini kartu kredit utama milik sendiri. Gak lama nyusul juga kartu kredit dari bank lainnya. Hingga akhirnya total kartu kredit yang saya punya bisa mencapai 6 buah. Dengan total limit saat itu kalau gak salah ingat sekitar Rp50juta.
Permasalahan baru pun muncul…
Ketika saya “dipaksa” kredit rumah. Memang, gaji saya saat itu sudah bisa menutup biaya KPR bulanan. Namun, karena kondisi hutang kartu kredit itu, proses pun berlangsung lambat dan alot. Saya harus menyelesaikan dulu semua hutang itu dan berakhir dengan mengajukan Kredit Tanpa Agunan (KTA) untuk menutupinya.
Beres?
Gak juga.
Karena pada prinsipnya, saya hanya mengganti hutang A dengan hutang B. Sama aja kan? Bahkan menambah ke hutang C, yaitu KPR.
Setiap bulan, saya harus memikirkan bagaimana menyelesaikan semua hutang itu, yang kalau ditotal lebih dari 50% gaji saya saat itu. Sehari-hari pun akhirnya saya harus berhemat sedemikian rupa agar tetap bertahan – apalagi saat itu saya kerja di kota lain.
Salah Arah dan Menyesal
Iya… nyesel banget. Ya tapi, seperti kata orang-orang, penyesalan selalu datang terlambat. Itu yang saya rasakan. Kenapa gak dari dulu bisa berpikir lebih bijak dalam spending money. Kenapa waktu dulu lebih mengutamakan gaya hidup dibandingkan apa yang menjadi kebutuhan sehari-hari?
Hingga akhirnya semua yang telah saya dapatkan sekian puluh tahun kerja – bahkan sampai ke negeri orang pun hilang gitu saja. Bukan gitu saja sih, tapi hilang untuk menutup hutang itu.
Kalau ditanya sekarang, apakah saya tidak punya kartu kredit, saya akan bilang: “IYA”. Kondisi ini bahkan membuat saya semakin tenang. Namun, ya namanya hidup ya… selalu akan ada masalah dalam hidup kan.
Sekarang ini, di satu sisi, hutang kartu kredit saya boleh dibilang sudah nol. Namun, di sisi lainnya, asset pun saya tak punya. Salah satu akibat dari kesalahan gaya hidup saya ya ini… membuat saya harus merelakan rumah dan kemudian memulai kembali dari nol.
Gaya Hidup itu Gak Sepenting yang Dipikirkan!
Kenyataannya begitu kok. Apalagi kalau kita ini ingin meniru gaya hidup orang lain – entah teman, saudara atau siapapun – yang terlihat lebih wah. Lebih baik kita mengutamakan apa yang menjadi kebutuhan kita sendiri – prioritas kita.
Percaya deh, tiap orang punya prioritas masing-masing. Semua juga memiliki kebutuhan beda-beda. Gaya hidup pun beda-beda. Gak perlu kita meniru mereka, apalagi meniru selebgram dan teman-temannya itu.
Semua yang terlihat belum tentu menjadi kenyataan sebenarnya. Saran saya sih,.. coba pikirkan kembali apa yang menjadi prioritas kamu dan kebutuhan kamu. Gaya hidup kamu akan berubah dengan sendirinya kok – kalau memang sudah waktunya. #RandomGakJelas nya saya akhiri sini aja ya… Cheers!