Kami bukan pemalas. Kami bukan generasi manja. Kami hanya lelah jadi mesin. Dan kalau bekerja sesuai jobdesc disebut “kurang semangat”, maka biarlah kami disebut itu. Ini bukan tentang malas kerja. Ini tentang bertahan hidup, menjaga waras, dan menolak jadi budak korporat.
Beberapa tahun lalu, saya bekerja di sebuah perusahaan media. Gajinya UMR pas-pasan, jam kerjanya fleksibel (alias bisa ditarik kapan saja), dan tuntutannya luar biasa.
“Kita butuh anak muda yang punya semangat juang,” begitu kata atasan saya waktu itu. Padahal “semangat juang” itu artinya pulang malam, kerja weekend, dan harus selalu standby kalau bos nge-chat. Lama-lama, saya sadar: ini bukan semangat juang. Ini eksploitasi. Waktu itu saya belum tahu istilahnya. Saya hanya merasa jenuh, muak, dan terjebak dalam rutinitas yang tak memberi ruang untuk bernapas.
Tentang Quiet Quitting – Bentuk Perlawanan Diam-diam

Sampai akhirnya saya menemukan sebuah istilah yang sedang ramai di TikTok dan Reddit: quiet quitting. Istilah ini bukan berarti berhenti kerja, tapi berhenti memberi lebih dari yang diminta, berhenti “ngebucin” perusahaan. Dan jujur saja, saya merasa… akhirnya punya nama untuk perasaan saya selama ini. Quiet quitting adalah bentuk diam-diam dari perlawanan. Ini bukan mogok, bukan sabotase.
Ini cuma tentang bekerja sesuai kontrak, sesuai gaji, tanpa over-deliver yang nggak dibayar. Di era ketika hustle culture dijadikan standar kesuksesan, quiet quitting jadi bentuk self-defense. Anak muda capek dibombardir konten “kalau kamu tidur, orang lain sedang kerja keras,” seolah hidup ini balapan tiada henti. Padahal, tidak semua orang ingin jadi CEO umur 30. Tidak semua orang ingin beli rumah umur 25.
Baca juga: Cara Menjaga Kesehatan Mental di Era Digital – Self Care ala Gen Z
Banyak dari kami cuma ingin kerja dengan tenang, bisa bayar kos, makan tiga kali sehari, dan punya waktu buat keluarga atau sekadar baca buku. Apakah itu salah? Menurut survei dari Gallup tahun 2022, lebih dari 50% pekerja muda di bawah usia 35 tahun di Amerika Serikat mengaku “secara diam-diam menarik diri” dari keterlibatan kerja aktif. Mereka tidak merasa terhubung secara emosional dengan pekerjaan, dan hanya menjalani rutinitas karena kebutuhan.
Fenomena ini tidak terbatas di AS saja. Di Indonesia, Laporan JobStreet 2023 menyebutkan bahwa 62% karyawan Gen Z menilai keseimbangan kerja-hidup (work-life balance) jauh lebih penting daripada kenaikan jabatan cepat. Saya mulai curiga bahwa ada sesuatu yang salah ketika mendengar teman saya cerita soal burnout. Ia kerja di startup, digaji lumayan, tapi setiap malam menangis sendiri di kamar kos.
Baca juga: Politik Kantor yang Bikin Ribet – Apa dan Solusi Menghadapinya
Bukan karena patah hati, tapi karena otaknya dipaksa terus produktif. Lembur dianggap biasa. Balas email di jam 11 malam itu budaya. Dan ketika dia izin cuti karena sakit, malah dituduh tidak loyal. Masalahnya, banyak perusahaan tidak benar-benar menghargai semangat kerja ekstra. Kita diminta kreatif, tapi dikekang. Kita diminta fleksibel, tapi gak punya waktu hidup. Kita diminta multitasking, tapi dibayar satu peran. Akhirnya banyak dari kita mulai mempertanyakan ulang: apa benar harus sesibuk itu buat dianggap sukses?
Bahkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengeluarkan data yang menyebut bahwa jam kerja yang terlalu panjang berkontribusi pada kematian 745 ribu orang setiap tahun akibat stroke dan penyakit jantung iskemik. Jadi, quiet quitting bukan semata bentuk sikap, tapi juga strategi bertahan agar tidak jadi angka dalam statistik itu. Fenomena quiet quitting juga memperlihatkan pergeseran nilai di kalangan anak muda.
Dulu, kerja keras sering dikaitkan dengan jam kerja panjang. Tapi sekarang, kerja keras juga bisa berarti tahu kapan harus berhenti, tahu kapan harus jaga diri sendiri. Kita mulai menyadari bahwa waktu istirahat adalah bagian dari produktivitas, bukan tandanya lemah. Dan ini bukan sekadar tren sesaat. Ini refleksi sosial. Gen Z dan milenial tumbuh dalam dunia yang berbeda dari generasi sebelumnya.
Baca juga: Rekomendasi Buku Buat si Overthinkers – Hapus OVT dengan Buku Keren Ini
Kami menyaksikan orang tua kami bekerja seumur hidup di satu tempat, hanya untuk pensiun dengan tubuh lelah dan harapan yang pudar. Kami tidak mau mengulang siklus itu. Kami ingin hidup yang lebih seimbang, meski harus menempuh jalan yang tidak biasa. Bahkan di media sosial, narasi soal quiet quitting ini ramai dibicarakan. Banyak video di TikTok yang menampilkan anak-anak muda yang dengan bangga berkata: “I’m doing the bare minimum and I’m still not fired.”
Dan komentar-komentarnya pun penuh dukungan: “Protect your peace,” “Gaji UMR, ya kerja UMR,” “Kesehatan mental lebih penting dari pujian bos.” Tentu saja, selalu ada risiko dari sikap ini. Tidak semua tempat kerja akan menghargai batas. Tapi banyak juga yang mulai sadar: kalau karyawan diperlakukan manusiawi, mereka justru akan lebih loyal.
Studi Harvard Business Review (2022) menunjukkan bahwa pemimpin yang mendengarkan dan membangun hubungan sehat dengan timnya cenderung memiliki staf yang tetap produktif, meski menerapkan prinsip quiet quitting.
Saya sendiri merasakan perubahannya. Sejak mulai menerapkan prinsip quiet quitting, saya bisa tidur lebih nyenyak. Saya punya waktu untuk keluarga. Saya bisa olahraga. Saya bisa belajar hal-hal baru. Dan yang paling mengejutkan? Saya tetap bisa menyelesaikan pekerjaan dengan baik. Ternyata, bekerja dengan batas itu tidak membuat saya jadi buruk. Justru saya merasa lebih fokus, lebih hadir, dan lebih manusiawi.
Ini bukan ajakan untuk bermalas-malasan. Ini ajakan untuk sadar diri. Bahwa kita punya hak untuk hidup di luar jam kerja. Bahwa kita tidak harus membuktikan nilai diri lewat angka-angka target. Bahwa hidup yang baik tidak harus selalu sibuk. Karena pada akhirnya, pertanyaan besar yang harus kita ajukan bukanlah “Bagaimana cara cepat naik jabatan?” tapi “Apa yang membuat hidup kita berarti?”
Dan buat kamu yang sedang berada di posisi dilematis antara ingin tetap profesional tapi juga menjaga kesehatan mental, yakinlah bahwa kamu tidak sendirian. Banyak dari kita sedang mencari jalan tengah itu. Mungkin jalannya tidak selalu mulus. Tapi kita sedang berusaha menciptakan dunia kerja yang lebih manusiawi, satu keputusan kecil dalam sunyi pada satu waktu.
Maka, mari kita jujur: Apakah kita bekerja untuk hidup, atau hidup untuk bekerja?
Dan kalau sistem kerja sekarang membuat kita merasa kosong, tertekan, atau kehilangan arah, beranikah kita bilang, “cukup”? Atau kamu justru sudah mulai diam-diam melawan juga?

Penulis: T.H. Hari Sucahyo
Mantan pejuang lembur yang kini sedang belajar hidup seimbang.
Suka menulis sambil ngopi dan ngelamun tentang masa depan generasi muda.